Artikel


 
 Ia Telah Merendahkan Diri Dan Taat Sampai Mati 
 Lukas 23:44-49; Filipi 2:1-11

Pengantar       
William Barclay dalam buku Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Lukas menyebut peristiwa kematian Yesus di atas kayu salib membuat seluruh alam raya berduka. Bagaimana tidak, sepanjang malam hingga tengah hari Yesus menerima hina, dera dan siksa. Salah seorang murid-Nya berkhianat, ada pula yang tega menyangkali, sementara yang lain menghilang ditelan bumi. Yesus diperhadapkan pada pengadilan yang tidak adil. Sang pengadil lebih memilih penjahat kelas kakap untuk disayang dan menendang Yesus insan tanpa dosa. Yesus diam tak membalas meski ia sebenarnya mampu membalas. Yesus terlihat tanpa daya meski kenyataannya Ia berkuasa.  
Matahari “galau” tak mau menunjukkan sinarnya. Dunia menjadi gelap karena umat manusia menyalibkan Sang Terang Sejati. Tabir Bait Allah terbelah dua. Sebuah isyarat bahwa hadirat Allah diperuntukkan bagi siapapun yang tulus mau menghampiri-Nya.  
            Tepat jam tiga, Yesus berseru dengan suara nyaring, “Bapa ke dalam tangan-Mu Aku menyerahkan Roh-Ku” (bdk. Mazmur 31:5). Ayat ini sebenarnya doa yang diajarkan setiap ibu Yahudi kepada anak-anaknya. Doa ini wajib diucapkan pada waktu malam hari sebelum tidur. Semakin jelas bahwa Yesus mati di kayu salib laksana seorang anak yang jatuh tertidur dalam perlindungan lengan bapa-Nya. Meski detik demi detik menjelang kematian sungguh menyiksa, Yesus menghembuskan nafas terakhir dalam kedamaian bersama Sang Bapa.

Isi
            Rasul Paulus menyebut karya agung Kristus di atas kayu salib dengan istilah “mengosongkan diri” (Yun: kenosis). Umumnya orang mengartikan kenosis sebagai pemberian diri secara total (bukan setengah-setengah) bagi sesama dan kepentingannya. “Kristus Yesus yang walaupun dalam rupa Allah tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati bahkan sampai mati di kayu salib” (Filipi 2:5-8).
            Dalam buku yang sama William Barclay menulis “maksud Paulus bahwa ketika Yesus menjadi manusia itu bukanlah sandiwara melainkan sungguh-sungguh”. Dia tidak seperti dewa-dewi Yunani yang kadang kala menjadi manusia namun tetap mempertahankan hak-hak istimewanya. Kristus Yesus menjalani peristiwa salib sebagai manusia sejati. Ia merasakan nyeri saat luka-luka bekas cambuk dan paku itu mulai mengganggu. Ia letih, lelah memanggul kayu salib di sepanjang jalan derita menuju Bukit Golgota. Anak Allah itu menderita sungguhan, bukan sekadar bermain peran dalam drama penyaliban.
            Inilah bukti ketaatan Kristus kepada Sang Bapa. Demi karya penyelamatan Allah atas dunia, Kristus rela mati dengan hina. Hina di hadapan manusia yang tidak percaya kepada-Nya. Namun agung bagi orang-orang yang percaya dan bagi Allah Bapa di Sorga. Kematian-Nya bukan mati tanpa tujuan. Bukan mati tanpa arti. Melainkan kematian yang paling berarti. Sang Kristus, Anak Allah, mati dengan tragis karena karya agung-Nya yang sangat fantastis. Tak seorang pun mampu mengulanginya. Tak satu pun mampu menandinginya. Kristus mati bagi dunia. Kristus mati bagi kita.              
   
Relevansi
            Minggu demi Minggu di Masa Raya Paskah GKJ Bekasi 2013 kita bergumul, belajar dan meneladani solidaritas Kristus yang ada di dalam 4 Injil (Matius, Markus, Lukas, Yohanes). Tersentakkah hati kita, saat menyadari bahwa hidup Yesus sangat singkat namun seluruhnya diisi dengan karya solidaritas bagi dunia? Tidak ada waktu yang ia pakai tanpa arti. Tidak ada waktu yang ia sia-siakan. Ia hidup bukan untuk meminta atau menerima sesuatu sebaliknya ia memberi sesuatu. Solidaritas memang diawali dari kesadaran memberi diri bagi sesama.
            Bagaimana dengan kita? Sudahkah merasakan arti hidup yang sesungguhnya? Lihatlah Yesus, hidup-Nya berarti karena ia memberi arti. Hidup-Nya dicintai karena ia terlebih dulu mencintai. Selamat mendalami solidaritas Kristus melalui karya salib-Nya. Tuhan Yesus Memberkati. Amin.


Datanglah Kerajaanmu, Jadilah KehendakMu di Bumi Seperti di Surga
(Matius 6:10)


Ada banyak orang Kristen yang salah mengerti tentang konsep “menghadirkan Kerajaan Allah di bumi”. Ada yang bepikir bahwa menghadirkan kerajaan Allah di bumi adalah upaya (usaha) menambah jumlah orang Kristen. Dengan kata lain disamakan dengan “upaya Kristenisasi”. Jadi biasanya orang-orang Kristen/ gereja yang menganut paham seperti ini, fokusnya pada “memenangkan jiwa”. Dalam arti, mengajak umat agama lain untuk menganut agama Kristen.
Bahkan yang lebih parahnya lagi, mereka juga menganggap bahwa gerejanya, alirannya, denominasinya paling benar dan hanya mereka yang menjadi ahli waris kerajaan Allah. Sementara denominasi yang lain tidak benar, dicap salah. Akhirnya tidak hanya sekedar Kristenisasi tetapi juga akan ada istilah GKJnisasi, GKInisasi, GBInisasi. Misalnya, kalau di antara kita orang GKJ yang merasa bahwa GKJ paling benar dan menganggap mereka yang tidak di GKJ salah, bahkan memaksa mereka dari denominasi lain untuk masuk ke GKJ berarti kita melakukan upaya GKJnisasi.
Mari kita bayangkan, apa yang terjadi ketika semua orang Kristen pada masa sekarang ini memiliki konsep yang kurang tepat tadi. Apa jadinya kalau semua orang Kristen menganggap orang di luar Kristen itu seperti target, mangsa, makanan yang empuk dan siap disantap, orientasinya mengajak umat beragama lain menjadi Kristen.
Apalagi kita diperhadapkan pada konteks kehidupan yang plural, majemuk, yang kaya akan keberagaman seperti di Indonesia ini. Saya yakin, kondisi di Indonesia tidak semakin baik, tidak semakin tenteram, aman, damai justru sebaliknya akan semakin kacau. Yang sekarang sudah kacau menjadi lebih kacau lagi. Gesekan-gesekan kepentingan, perbedaan apalagi terkait dengan isu SARA, akan dengan sangat mudah menyulut konflik, pertikaian antar pribadi maupun kelompok yang berbeda. Hal yang sebenarnya sepele, bisa menyebabkan konflik sosial yang sangat hebat dan berlangsung lama. Contoh kecil yang membuat kita semua sedih adalah maraknya aksi tawuran antar pelajar. Pelajar yang harusnya belajar di bangku sekolah, justru belajar mengacungkan parang di jalanan.
“Datanglah KerajaanMu di Bumi Seperti Di Surga”, sebenarnya bagi saya pribadi tema ini kurang lengkap. Semestinya, “Datanglah KerajaanMu Jadilah KehendakMu di bumi Seperti di Surga”.
Mengapa saya katakan demikian? Menghadirkan kerajaan Allah itu tidak bisa dilepaskan dari kehendak Allah. Keinginan Allah, kemauan Allah, cara berpikir Allah. Kalau coba kita renung-renungkan, mungkin tidak, Allah menginginkan orang-orang Kristen berjuang, mengkristenkan orang lain, tetapi akhirnya menimbulkan konflik, pertikaian antar umat manusia. Mungkinkah Allah, senang, Allah tertawa ketika melihat gereja-gereja di tutup, disegel bahkan dibakar karena memang orang-orang Kristen kurang bisa bergaul, kurang bisa berhubungan baik dengan masyarakat sekitar, karena orang-orang Kristen sangat ekslusif, membangun tembok, merasa suci, merasa paling benar! Juga sebaliknya, di kantong-kantong kekristenan, di daerah-daerah yang orang Kristennya mayoritas, apakah kira-kira Allah merasa bangga, senang ketika ada banyak orang Kristen, karena mentang-mentang mayoritas bertindak sewenang-wenang terhadap kaum minoritas. Saya yakin betul, Allah tidak pernah bangga, bahkan Allah sedih, menangis, kecewa ketika dunia ini penuh dengan kekerasan, permusuhan, pertikaian antar manusia. Dunia yang diciptakan Allah baik adanya sekarang menjadi rusak karena ulah manusia. Saya yakin benar, Allah menghendaki adanya perdamaian, keselarasan, keharmonisan di bumi ini.
“Datanglah kerajaanMu, jadilah kehendakMu di bumi seperti di sorga”, kita semua diajak untuk mengusahakan “damai sejahtera/ syalom” di tengah-tengah dunia ini. Dimana ada orang Kristen, disitu harus ada damai sejahtera, jangan malah sebaliknya. Ada orang Kristen, malah ada keributan, pertengkaran. Bahkan isi Kotbah Tuhan Yesus di Bukit, disebutkan “berbahagialah orang yang membawa damai karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Matius 5:9).
Berbicara tentang kata “syalom”, biasanya hanya diartikan “damai, sejahtera, selamat”, akan tetapi sebenarnya memiliki banyak arti. Beberapa di antaranya, syalom berarti keutuhan contohnya keadaan sebuah bangsa dan negara yang bersatu, tidak terpecah-pecah dan tidak terkotak-kotak. Syalom berarti keselarasan contohnya jika ada dua orang atau dua kelompok berdamai kembali dan memulihkan hubungannya setelah beberapa waktu terputus/ renggang karena konflik. Syalom juga berarti damai sejahtera, berkat, makmur. Contohnya, hasil panen yang melimpah dan kebutuhan tiap orang tercukupi. Syalom juga berarti selamat, seseorang melakukan sebuah perjalanan dan tiba ditempat yang dituju dengan baik. Dengan demikian kita tahu bahwa syalom memiliki makna yang kongkrit, riil namun sangat luas.
Menjadi tugas kita bersama, orang-orang Kristen, semaksimal mungkin untuk mengupayakan syalom di tengah-tengah dunia. Dan itulah yang dimaksud dengan upaya menghadirkan “kerajaan Allah dan kehendak Allah di bumi seperti di sorga”. Mari jadikanlah dunia ini, dunia yang penuh dengan perdamaian, kerukunan, ketenteraman, kesejahteraan, keadilan.
Hari Minggu besok ini, kita akan memasuki Bulan Keluarga, dan tema besarnya adalah Keluarga Menghadirkan Kristus Bagi Lingkungan. Sekali lagi jangan dipahami hadirnya Kristus di linkungan adalah upaya mengajak tetangga-tetangga kita menjadi Kristen, tetapi bagaimana kehidupan Kristus yang penuh kasih, cinta damai, peduli itu kita teladani sekaligus kita praktekan di tengah keluarga kita dan ditengah lingkungan sekitar kita. Selamat menyongsong bulan keluarga, selamat belajar menjadi duta-duta perdamaian, orang-orang Kristen yang mengusahakan syalom di dunia. Tuhan Yesus Memberkati, Amin.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar